Rabu, Agustus 18, 2010

Hanya aku dan pena yang tahu..

Jika ada cinta saat ini.

Sekedar untuk membasuh peluhku yang lara.

Aku akan mengalun pada malam yang pekat.

Tak berirama dan tak bersuara.

Segalanya adalah keadaan yang indah syarat makna.

Tentang hati ini yang selalu terangkai pada birunya dinding syair.

Saat romansa yang getir.

Layaknya pujangga yang tersesat pada rerumpun rindu.

Menerawang gelisah hingga ke utara, dan kembali ke selatan.

Ternyata begitulah hidup.

Syairku ada pada dunia.

Ada cinta dipelataran hatiku.

Mengukir lembaran bait yang tersusun pada atap jiwa.

Memejam dalam gelap.

Tak ada beda saat ku renungkan.

Tapi cinta, selalu berbeda pada setiap syairnya.

Dan selalu sama pada setiap angan.

Kemanakah? Syair cinta ini tertuju.

Hanya aku dan pena yang tahu.

Aku malu pada Muhammad dan Allahku..

Jika semua disadari..

Betapa rendahnya..

Betapa tak tahu diri..

Betapa tak mensyukuri nikmat-Mu..

Dalam do'a-do'a yang ku haturkan

Sering kali dunia yang ku minta

Dunia, dunia, dunia.. dan dunia..

Mengeluh, mengeluh, mengeluh.. dan mengeluh..

Selalu merasa kurang, dan melupakan nikmat lain yang Engkau berikan..

Nikmat sehat

Nikmatnya bernafas

Nikmatnya iman kepadaMu

Nikmatnya islam agamaMu

Jujur, aku malu pada dia..

Pada utusanMu, Muhammad..

Yang selalu bersyukur kepadaMu dalam kesederhaan

Dan aku sangat malu kepadaMu wahai Allahku..

Dalam do'a, selalu meminta dunia, bukan ampunan..

Aku malu, saat nafas ini ku dapatkan percuma

Tanpa mensyukuri RahmatMu

Aku malu..

Keharusanku, padamu.

Tak terpikirkan olehku jika harus berpaling.

Kesetiaanku tercatat pada keagungan Tuhan.

Tak terhentikan jika waktu yang akan memisahkan.

Nafas cinta ada pada takdir Tuhan.


Dan kau mampu mengerti seluruhnya isi hatiku.

Menaungi hatiku dari panasnya dunia.

Sebuah keharusan untuk ku rebahkan hati ini.

Pada pusara kerinduan tentang dirimu.

Meski sehari saja tanpa senyummu.

Aku, padamu.

Layu...

Setangkai mawar di hadap mata

Merona merahnya, berseri dengan jiwa menggericik

Ada cinta yang terkikis, perlahan mengalun terbawa alir

Senyumnya tetap kokoh, bertolak tatapan mata yang berkaca

Dia layu...

Kelinci di gigiku, dan jingga di mataku.

Di rerumputan nan hijau lagi luas.

Ku lihat dia berjalan.

Ini tentang anganku yang melayang jauh.

Melewati batas mimpi yang nyaris nyata.

Dia seorang wanita, yang ku tahu parasnya hampir seperti bidadari.

Ada elok, ada pesona.

Jika tersenyum, terlihat kedua gigi depannya nan mungil.

Gigi kelinci itu seperti gigiku.

Memang seperti gigiku, seorang pria yang menuliskan ini.

Akulah si gigi kelinci, sedikit aneh, tapi inilah aku.

Itu yang ku tahu.

Lanjut tentang wanita itu.

Dia berjalan ke arah jingga.

Jingga, bagiku sebuah perumpaan dari cinta.

Hal yang unik, ada istilah gigi kelinci, ada pula jingga.

Melekat pada sebagian besar bait yang ku gubah.

Sampai ku bingung akan berhenti dimana.

Terlalu jauh batas angan yang ku lewati.

Terlalu sering aku terlelap.

Sampai terbangun, dan berkaca.

Ada gigi kelinci di senyumku.

Ada jingga di mataku.

Sudah tak beraturan, tentang tulisan ini.

Pena ku terhenti.

Durinya melukaiku

Bagaimana jika ku pergi.

Meninggalkanmu dari satu pintu.

Sekuntum mawar genggamanku.

Sekali ini saja, jangan kau menangis.

Tapi jangan kau palingkan wajahmu dariku.

Jangan pula lambaiannya kau redam.

Jauh, selangkah saja ku berjalan.

Semakin jauh, hati ini untukmu.


Selaput rindu pasti ku benam.

Hakikat cinta telah bungkam.

Aku peluh, cerita ini harus terjadi.

Saat semuanya indah.


Pada mawar ini, durinya melukai ku.

Pada Islam Aku Bangga

Coba pikirkan, mengapa ada hujan.

Renungkan, mengapa ada angin.

Pahami, mengapa ada air mata.

Ketahui, semua yang Allah ciptakan adalah nyata.

Di hati dan di hadap mata.

Tak terlihat hingga tampak.


Dan mengapa kita, menerima itu semua.

Ucapkanlah rasa syukur kepada-Nya.

Atas islam yang ditanamkan-Nya di hati kita semua.

Sedikit saja yang kita tahu, betapa besar karunia-Nya.

Pada islam, aku bangga.

Senyummu mencubitku.

Kantuk nan berkuasa, sangat.

Mata separuh kabut.

Aku masih terpaku, duduk diam bisu.

Memandang sedikit cahaya merayu.

Sulit ku tolehkan hadapanku.

Hari kemarin usai berlalu.

Hadir dalam tegunku padamu.

Senyumanmu mencubitku.

Pada malam yang ku nanti.

Setiap lelap dini hari.

Ada bekas dalam ingatanku, esok harinya.

Senyummu mencubitku.

Jus Mangga Sang Puteri

Disaat ku datang ke rumahnya malam itu.

Sambutnya dengan sederhana dan pesona.

Disuguhkannya aku dengan senyum dan tawa.

Dan pernah aku disejukkan dengan segelas Jus Mangga.

Cerita itu biarlah menjadi sesuatu yang nantinya dapat menghiburku.

Terangkai dari semua, aroma dan kesegarannya masih terasa hingga saat ini.


Puteri...

Untuk hati yang tak mampu ku terka, ini ku persembahkan

Intuisi...

Membawaku pada catatan lama.

untuk mengangkat kembali sebuah kisah yang layak untuk dimengerti.


Menuntun pikiran ku seolah sebagai Penyair.

Yang menyelaraskan kenangan untuk tetap terjaga dengan indah.

Melalui catatan ini, aku akan bercerita.

Tentang bagaimana hati itu lembut untuk dipertanyakan,

dan keras untuk ditaklukan.


Memahaminya, butuh pemikiran serta tindakan setinggi langit.

Mengapa hati selalu lemah dalam memahami tulusnya rasa,

dan terlambat mengejar yang hampir menjadi miliknya.

Tertinggal oleh cinta yang ingin dimilikinya.


Satu yang ada dalam catatan ini,

sebuah pemeran yang bercahaya dari sekian bait yang tertera dalam rongga jiwa.



Sekali lagi, intuisi mengiringi jemariku menuangkan ini.

Menuntunku seolah sebagai Penyair,

diantara ketidaktahuan yang pasti.


Coba memahami,

mengapa lunaknya hati dapat lebih keras dari baja?

Dan mengapa kerasnya hati dapat lebih lunak dari perasaan sedih yang terdalam.

Ketika dia terlambat untuk menyadari datangnya cinta yang memang bersih meski sederhana.

Ketika dia menangis dalam penyesalannya yang telah melepas cinta.


Aku pun menangis dalam pelepasan yang teramat berat.

Ku datang, coba mendobrak lapisan-lapisan baja di hatimu,

ku lelah.. ku berpaling..


Kemudian kau datang, dengan keadaan hati yang terbuka seutuhnya.

Namun, kerasnya takdir tak kuasa ku runtuhkan dan tak mungkin kau tantang.


Terkadang ada.. waktu yang mengalun dalam hela nafasku.

Ku yakin saat itu,

kita bertemu dalam dunia yang tak dapat kita terka,

dalam ruang dan waktu dimana hanya ada kita,

dalam jauhnya batas temu yang tak tersusun, suaramu tetap ada.


Kenangan adalah warna hidup,

membawa yang telah lalu kembali ada,

dalam tempat yang istimewa.


Sebuah kerasnya hati yang teramat manis,

mampu ku tembus dan akhirnya berpaling karena lelah.


Untuk hati yang tak mampu ku terka,

ini ku persembahkan, dalam istilah maupun perumpaan,

selalu ada di rongga jiwa.

Kisahku, Jingga.

Kisah ku.

Tentang seseorang yang mampu menopang Pelangi dengan pena
dan mewarnainya dengan senyuman.

Jika benar adanya,
adalah aku teramat istimewa di setiap lirikan mata
dan terpampang di setiap kerinduan.

Coba pahami,
adakah penyair hidup tanpa rasa sakit yang menyayat hatinya siang dan malam?

Pernahkah disadari,
adakah penyair hidup tanpa air mata yang membasahi deru nafasnya yang sesak?

Yang selalu kagum pada mawar tak berduri, padahal itu tak pernah ada.

Selalu menatap bintang yang tertutup awan, padahal takkan terlihat.


Terkunci pada hari yang telah berlalu,
tak lekas bergegas pada cahaya di hadap mata.


Kisahku.

Ada sedih penuh rindu.

Yang menyebut cinta itu sebagai Jingga.

Yang menyamakan cinta dengan Jingga.

Yang mengharap cinta seperti Jingga.

Ketika menginginkan cinta, maka inginkan Jingga.


Penuh cinta sejuta rindu.

Seseorang yang berkata dalam diam, dan tertawa dalam sepi.

Termenung dalam satu detik diantara seribu waktu.


Kisahku.

Yang ingin terdengar ke seluruh dunia.

Membawa cinta pada semua.


Yang ingin meruntuhkan pelangi dalam sekejap,
dan melumurinya dengan satu warna saja.

Dengan Jingga.

Esok yang sedikit dinanti.

Esok akan datang, sesuatu yang memang sedikit dinanti.

Tatapan sederhana yang meracik beberapa rasa menjadi utuh.

Sekeping senyum yang bagiku adalah penghilang dahaga.

Tanpa meminta seutuhnya untukku.


Hati, selalu istimewa dalam kekaguman, hal biasa yang merajut sekujur rindu.

Menyapa dengan kerlipan tawa..

Memanggil namaku, pelan saja, tetapi menarik untuk didengar.

Sejenak menjadi semakin tak sabar.

Menuju hari esok, dan tetap syahdu dalam penantian.

Sedikit saja, bagiku

Senyumanmu, itu.

Sentuh ranah kalbu di perlintasan anganku.

Menggeliat sekejap tanpa rasa.

Senyumanmu, itu.

Menebar, tanpa arah namun penuh pesona.

Mencabik semua asa yang indah.

Senyumanmu, itu.

Terasa pedih, melemahkan ambisiku yang sebatas pada satu garis.

Sebuah waktu.

Senyumanmu, itu.

Menyudutkan hijaunya jantung hati.

Tak kuasa, aku berpaling.

Dari senyumanmu, itu.

Aku ingin menulis tentang apa itu Jingga

Ku ingin menulis tentang apa itu Jingga.

Guratannya membuatku berarti dan melarutkan aku dengan segala ejaan dalam hidup.

Biar dikata aku tak pantas sebagai sastrawan, arah angin tak akan mampu kalian ubah, karena langkah pena hanya tunduk pada tuannya, yaitu aku.


Aku menyebut cinta itu sebagai Jingga.

Yang mengalir dalam darah sejak ku dilahirkan.

Yang menggores hatiku hingga pedih!

Yang meracuni pikiranku dengan biasnya.

Yang mengantarkanku pada pilihan yang terindah.


Aku ingin mengungkap Jingga.

Yang ku sebut sebagai cinta.


Ku ingin menulis tentang apa itu cinta.

Pena menyatu pada jemariku, dan hati sebagai tinta yang tak pernah habis.

Cintaku adalah keangkuhanku.

Aku terlalu kokoh untuk kau runtuhkan...

Maka, jangan kau banyak bergeming.

Cukup kau diam dan menangis, jangan menatapku.

Jangan melirik padaku.

Senyumanku terlalu istimewa untuk kau jadikan pelipur lara, tak pantas kau harap dan impikan.

Cintaku adalah keangkuhanku.

Kuat meski menangis...

Percayakan pada Tuhan, tentang apa yang kau cemaskan.

Perlihatkan pada dunia, tentang apa yang kau punya.

Jangan bersembunyi dari langit, tentang apa yang tidak kau punyai.

Terus melangkah, sekalipun pedih telapak kakimu akan panasnya perjalanan hidup.

Jangan berhenti, sampai Dia menghentikan aliran darahmu.

Semangatmu, senyummu, sayangmu, tangismu, tetap mengalun dalam waktu.

Maka, jangan berhenti sampai di sini.

Tak tersentuh

Terkesampingkan semua rasa, pada hening yang pernah ku temui..

Masih ada rasa yang tersimpan kepadaku, tersenyum padaku..

Lirih memang sebuah kisah yang tercantum di hati ini, tentang dirinya di persimpangan asa


Memanggilku dan tak akan ingin lagi aku berpaling.

Meski bunga tetap abadi ditangannya, aku tak tersentuh.


Coba tanya apa maksud Tuhan memberikan ini.

Dia yang tahu cinta ini tepat pada siapa, dan indah terhadap apa.

Memang ada bayangnya di dinding lain sebuah kehidupan, dan aku tak tersentuh.