Selasa, Juli 06, 2010

Hijau dan Gigi Kelinci yang membiru.

Aku terlarut dalam hijau..

Batinku memberontak, ingin pada biru.

Tetapi tak berdaya, terjerat cinta yang haru.

Adanya kini hanyalah saat ini, sekedar kenangan untuk selanjutnya.


Tentu aku tahu..

Cinta yang selalu mengusap benakku dan membawa pada angan yang semu.

Aku terkoyak dan ingin pada biru.

Sesekali hijaunya memangggilku, pembicaraan disaat merdunya memanggilku.

Ternyata biru masih saja ada, lagi aku ingin pada biru.

Senyummnya yang pernah ku kenal, biru adalah teman yang pernah sekilas ku tahu.

Menjadi dekat, dan waktu itu aku merindu.

Gigi kelinci yang membiru di hamparan sajak-sajak berjenjang.

Seperti waktu yang goyah, di hati adanya.


Hijaunya... selalu membuatku tersenyum.

Secercah keluguan yang memang nyata.

Ya, dia hijau.

Tetapi ada biru yang juga bergeming.


Sebuah untaian yang akan selalu menapaki jalanku.

Kisahnya ada dan sendu.

Antara hujau dan biru.

Jangan bersedih...

UNTUK TEMANKU SUCI LARASATI : JANGAN BERSEDIH DAN TETAP SEMANGAT!!!!



Memang tak ada bunyi.

Namun gaungnya pasti membuat hati sejenak membisu, dan kemudian menangislah air mata.

Cerminan kesedihan, itulah ketika cinta bertepuk sebelah tangan.

Hati yang kau miliki tetap begitu adanya.

Takkan sanggup jika harus menerima, sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan.


Ada, keyakinan yang harus kau pandang.

Dibalik rasa yang menyayat, dan meruntuhkan.

Itu semua akan membaik nantinya.

Ketika ketulusan menyapa dirimu, ketulusan yang buta.

Kebutaan yang hanya melihat dengan ketulusan dan kesetiaan.

Tanpa melihat semanis apa senyummu.

Tanpa melihat secantik apa dirimu.

Dia akan melihat apa adanya pada dirimu, yang membawa pada agungnya cinta.


Cinta, jangan kau jadikan benda berduri.

Karena hati akan merasakan tajamnya, kemudian merintih.

Jadikan hatimu seperti air.

Maka hati akan merasakan sejuknya, jernihnya, manfaatnya, dan derasnya cinta yang membawa mu pada pelabuhan yang utuh.

Seorang pendamping yang setia.

Yang tak ragu ketika harus menyematkan tanda cinta di jemari manismu.

Kokohnya akan menolak semua ombak masa lalu yang pekat.


Dengarlah temanku, jangan lagi bersedih, itu saja pintaku.

Terlalu congkak suatu hal yang bertepuk sebelah tangan.

Itu tak layak kau sebut cinta.


Ini bukan nasehat, sekedar uraian dari apa yang pernah ku alami.

Kemudian ku pelajari, bahkan pernah ku bersedih.

Maka jangan sampai kau berlarut karena hal yang sama.

Sekarang kusampaikan padamu wahai temanku.


Lupakanlah hal yang pekat, dia bukan cinta sejatimu.

Sekali lagi, ada, keyakinan yang harus kau pandang.

Bahwa cinta sejati akan datang pada waktunya.

Memberikan kepastian yang murni.

Itulah cinta.

Dia isteriku.

Bila hujan adalah sebuah keharusan yang pasti diturunkan.

Begitu hatiku semestinya milikmu.

Begitu pula ragaku, serta senyumku.

Aku ingin memujamu sebatas cinta sehidup dan mati.

Memastikan bahwa engkaulah wanita untukku di dunia ini.

Saat ku pinang engkau dengan keharuan.

Ku kecup dengan kecintaan dan ku genggam dengan harapan.

Tetaplah menjadi milikku seutuhnya.

Cincin di jemari manismu, jagalah hingga bumi tak lagi ada sinarnya.

Dalam hujan yang ku anggap sebagai anugerah, seorang wanita yang sangat ku cintai tetap dalam kesetiaan.

Yang ingin selalu ku peluk atas nama Keagungan Tuhan.

Seorang isteri yang tak harus menjadi mentari di siang hari, dan tak mesti menjadi bintang di malam2ku.

Cukuplah sebagai pengingatku untuk selalu bersyukur dalam hidup.

Sebagai guru untuk anak-anakku kelak.

Engkau isteriku yang Tuhan ciptakan untukku.

Dan aku patut bersyukur, bahwa kesetiaan adalah ketulusan.

Tolak angin, dangdut dan cinta

Aku adalah sang pujangga.

Aku ingin
menjadi angin, merasuki setiap tubuh insani yang
lelah.

Hingga sebuah koin akan menamparku,
menjadikanku guratan-guratan merah di
punggung mereka.

Dan keaadaan akan
menyadarkan mereka, bahwa hanya orang pintar
yang minum Tolak Angin


Aku adalah seorang pujangga.

Aku ingin menjadi gendang dan seruling, mengiringi pinggul-pinggul para biduan yang bergoyang.

Sehingga terpancing lah hasrat mereka yang melihat goyangan itu, mengalir lah air liur dari mulut mereka.

Dan keadaan akan memaksa mereka, bahwa dangdut itu lebih baik dari jazz ataupun blues.


Aku adalah si pujangga.

Aku ingin berdansa dengan Cinderella, bersama sepatu kacanya yang berkilau, menjadikan aku pangeran satu malam saja.

Hingga usai, akan ku bawa sepatu kaca itu kepada isteriku dan memakaikan di kakinya.

Dan keadaan akan membuat dia berfikir, bahwa aku sangat mencintainya.

Aku adalah pujangga.

Yang bersenjatakan 3 pesona.

Tolak angin, dangdut dan cinta.

Aku lelaki di sampingmu.

Dan aku sedang bahagia, memandang langit yang tersenyum.

Di jiwa ini telah bersimpuh, alunan-alunan berbunga.


Tiada yang bergumam atas apa yang terjadi, meskipun gunung-gunung menyemburkan laharnya.

Walaupun gelombang lautan meninggi, menghempas daratan dengan gemuruhnya.


Ada pula seorang gadis yang duduk termenung di pelataran kalbunya yang gulita.

Itu semua ada di mimpiku..


Secarik kertas yang ku untai, ku lumuri dengan tinta kesedihan, biar terhapus dan robek oleh rasa ini yang lebihnya.

Jangan tinggalkan aku dalam keadaan ini, aku tak sanggup jika harus tanpa dirimu.

Tetap di sampingku, genggam tanganku dan biarkan raga ini leluasa untuk menjagamu dari takdir yang terkadang tak sepaham.


Uraikan cinta, langit dan bumi akan membimbing kita dalam kehidupan ini.

Aku bahagia, karena harus menemukan dirimu di pendakian yang terjal.

Sekalipun ketika gunung-gunung dan lautan bergejolak.

Aku akan tetap menjadi lelaki di sampingmu hingga nanti.

Pesona petir dan hujan yang aku rindukan

Dalam kekalutan derasnya hujan, ada sejuknya meresapi relung pikiranku.

Saat gemuruh petir bersahutan, ku rasakan merdunya melingkupi telingaku.

Aku merindukan situasi ini sejak lama, hujan deras dan petir yang buas.

Biarlah menjadi anugerah ataupun petaka, hanya Allah yang tahu, dan kita yang rasa.

Sejenak renungkanlah apa yang terjadi, merupakan sebuah kesederhanaan yang menggugah batinku.

Itu mencapai puncaknya, dari basahnya air dan kecemasanku terhadap kilatan-kilatanNya yang merdu.

Aku bahagia, dalam waktu dan gelisah.

Maaf, jika aku berharap hal ini akan berlangsung hingga esok pagi.

Demi bahagianya diriku, dalam deras dan gemuruhNya.

Alhamdulillah, berlimpah berkah yang Engkau turunkan.

Aku (jeruk) cemburu pada Facebook




Sebuah jeruk dalam ketidakpastian

Sebut saja itu aku


Dalam pencahayaan duniawi yang membuai


Namun ku tak sanggup merasakannya


Aku hanya sebuah jeruk yang datar dan tak akan berubah


Hidup menaiki tangga-tangga zaman yang terjal


Dan aku tetaplah sebuah jeruk



Semakin tipis sebuah tempat untuk ku hidup


Semakin ku diacuhkan oleh benda yang menyala siang dan malam


Dengan temannya yang setia, Facebook



Mereka bersanding dengan tanpa goyah


Akupun terbuang dan malang



Satu pintaku


Ku hanya ingin termakan


Tolong jangan acuhkan aku


Aku tak ingin membusuk



Kupaslah aku!


Makanlah aku!


Aku lebih bermanfaat dibandingkan dia, Facebook


Aku cemburu padanya


Pada makhluk yang disebut Facebook!